NetizenJombang.Com – Peristiwa yang sedang dialami pedagang toko atau warung kelontong di Surabaya dan Madura tentang larangan waktu operasional buka 24 jam, mengundang opini kritis dari seorang pengamat asal Kota Santri Dr. Solikin Rusli,S.H,.M.H. Menurutnya jika melihat fenomena pasar tradisional dan modern di Jombang, seharusnya ada kajian dan penertiban juga terkait terlalu banyaknya toko modern bahkan harusnya sudah melebihi kapasitas jumlah, Kamis (02/5/2024).
Pengamat sekaligus pengurus asosiasi pedagang pasar seluruh Indonesia (APPSI) Kabupaten Jombang ini juga berikan perhatian terkait para pelaku usaha mikro seperti warung kelontong dan modern di Jombang, menurut Solikin justru ada banyak toko modern yang beroperasi 24 Jam di Kota santri ini.
” ya, walaupun peristiwa itu terjadi di luar Jombang, alangkah baiknya kita juga bisa antisipasi lebih dahulu. Sepengetahuan saya kalo di Jombang tidak ada batasan buka 24 jam untuk toko kelontong dan yang jualan non stop pun jarang saya lihat, justru malah toko modern sebenarnya yang ada batasan dan itupun banyak dilanggar. Maka sebenarnya justru kita mengeluhkan menjamurnya toko modern yang tidak mentaati aturan, salah satunya adalah masalah parkir di toko-toko modern yang kurang terkoordinir,” ujarnya.
Tidak hanya mencemaskan persoalan beberapa toko modern yang kurang tertib dan melanggar aturan pemerintah daerah Kabupaten Jombang, Dr. Solikin Rusli,S.H,.M.H. juga mengkritisi tentang ketegasan dan kurangnya edukasi untuk para pengusaha pasar modern dalam memahami peraturan daerah (Perda), menurutnya ada salah satu contoh daripada himbauan tentang larangan memakai plastik untuk bungkus belanjaan yang disalah artikan.
“ Pemerintah Daerah Kabupaten Jombang ini perlu tegas, memang ada himbauan untuk tidak menggunakan bungkus plastik, tapi beberapa toko modern yang tidak perlu saya sebut namanya lah ya, kebanyakan mereka salah mengartikan aturan ini. Bahkan mereka tidak lagi memberikan bungkus atau kresek untuk membawa belanjaan, padahal bungkus ini kan seharusnya bagian daripada pelayanan untuk konsumen yang belanja, maka Pemerintah daerah punya kewajiban untuk meluruskan. Yang dilarang itu adalah bungkus yang bahannya dari plastik, tapi bukannya dilarang untuk memberikan bungkus yang non plastik, bila pemahaman ini bisa diluruskan dan pemerintah daerah menjelaskan bahwa konsumen yang belanja harus tetap diberikan bungkus namun yang non plastik, karena ini adalah bentuk pelayanan. Dilemanya adalah mereka memberikan bungkus non plastik tapi suruh beli, kalo gitu kan jualan lagi namanya dan bentuk atau arti pelayanan memberikan bungkus yang sebelumnya jadi hilang. Kalo Pemkab Jombang mau meluruskan dan berikan edukasi, misalnya bungkus ini dikoordinir oleh pengrajin rumahan atau umkm untuk membuat bungkus selain plastik yang nantinya dimanfaatkan oleh toko-toko modern yang ada di Kabupaten Jombang, maka akan memberikan manfaat atau meningkatkan pendapatan para pengrajin-pengrajin tersebut. Kesimpulannya Pemerintah daerah ketika membuat Perda jangan kemudian dilepas begitu saja, harus ada pengawasan atau semacam pengarahan ya,” tandasnya. (red)