NetizenJombang.Com – Dalam sudut pandang fiqih, pemilu dianggap sebagai media (Washilah) yang menuju terwujudnya proses pengangkatan pemimpin (Nashbul imamah), yang hukumnya adalah wajib kifayah (Kewajiban kolektif). Oleh karena itu, semua rakyat Indonesia mempunyai tanggung jawab (taklif) untuk mensukseskan pelaksanaan pemilu.
Hal itu diungkapkan oleh Direktur Bidang Pendidikan Diniyah Pondok Pesantren (Ponpes) Internasional Giri Majdi Jombang, Farid Junaedi dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi media ini, Rabu (14/2/2024).
Selain itu, kata dia, dalam putusan, rakyat memiliki peran dan andil yang besar dalam proses pemilihan pemimpin yang ideal. Kemakmuran rakyat, ketertiban, perekonomian yang baik dan stabilitas keamanan dapat terwujud apabila terpilih seorang pemimpin yang tepat.
Sementara, tidak memilih atau disebut Golongan Putih (Golput) yang dilakukan peserta dalam proses pemungutan suara atau tidak memberikan suara atau tidak memilih satu pun calon pemimpin, serta tidak bertanggung jawab atas hak suaranya.
“Sikap golput mencerminkan tindakan skeptis terhadap langkah kemaslahatan umum. Golput juga memiliki dampak negatif terhadap urusan pokok agama Islam (Al Amru Al Muhim Al Diniyyah),” ungkap Ustadz Farid.
Menurutnya, Golput memiliki dua sifat deskriptif. Pertama, esensi proses pemilihan pemimpin adalah fardhu (wajib). Kedua, setiap individu rakyat memiliki hak suara dan kewajiban pertanggungjawaban.
“Dalam Kitab Al-Ahkam Sulthoniyyah, halaman 17, menjelaskan bahwa jika pemimpinan dianggap wajib, kewajiban tersebut bersifat kifayah, seperti jihad dan menuntut ilmu,” ujarnya.
“Jika salah satu umat menunaikannya, maka kewajibannya terpenuhi sesuai kifayahnya,” sambung dia.
Kendati demikian, golput diperbolehkan dengan alasan yang jelas. Meskipun begitu, proses pemilihan pemimpin dianggap wajib karena berdampak pada lima tahun mendatang dan pemilihan pemimpin untuk kemaslahatan umat.
“Penting diingat bahwa memilih pemimpin merupakan hak yang berkaitan dengan agama dan dunia. Meskipun golput tidak diperbolehkan karena dianggap sikap acuh dan tidak bertanggung jawab atas hak suara, suara tetap merupakan cara efektif bagi warga negara untuk mempengaruhi kebijakan dan pemimpin yang terpilih,” tandasnya.(red)