NetizenJombang.Com – Seorang siswi kelas 12 di Jombang, diduga disetubuhi oleh pria asal Desa Sumbernongko, Kecamatan Ngusikan. Mirisnya, korban sampai keguguran diusia 6 bulan kehamilan, rabu (9/10/2024).
Atas peristiwa pidana asusila dan melibatkan perempuan dibawah umur tersebut, pengacara gondrong asal kota santri, Faris Trihatmoyo kembali angkat bicara dengan tegas.
” Menghamili anak di bawah umur merupakan bentuk kekerasan seksual dan kejahatan yang serius, terutama jika dilakukan oleh orang dewasa. Tindakan ini melanggar hukum di Indonesia dan diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 35 Tahun 2014). Pelaku dapat dijatuhi hukuman pidana berat karena termasuk eksploitasi seksual terhadap anak.
Jika dugaan aborsi terkait kehamilan anak di bawah umur juga terjadi, hal ini menambah kompleksitas kasus. Aborsi di Indonesia diatur ketat dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang hanya memperbolehkan aborsi dalam situasi khusus seperti ancaman terhadap nyawa ibu atau kehamilan akibat perkosaan, dan harus dilakukan oleh tenaga medis di fasilitas yang sah.
Dalam kasus aborsi ilegal, baik pelaku yang memaksa, pihak yang melakukan, maupun yang mengizinkan aborsi dapat dijerat dengan hukuman pidana. Ancaman hukumannya bisa berupa penjara hingga 10 tahun dan denda maksimal Rp1 miliar, tergantung perannya dalam tindakan aborsi tersebut.
Kasus kekerasan seksual terhadap anak tidak dapat diselesaikan melalui musyawarah atau jalur damai, karena ini merupakan tindak pidana serius. Dalam sistem hukum Indonesia, kekerasan seksual terhadap anak termasuk delik biasa, yang artinya kasus tersebut harus diproses hukum meskipun ada kesepakatan damai antara pelaku dan korban atau keluarga korban.
Hal ini diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), di mana negara memiliki kewajiban melindungi anak sebagai kelompok rentan. Upaya penyelesaian melalui musyawarah tidak hanya tidak sah secara hukum, tetapi juga mengabaikan hak-hak korban anak untuk mendapatkan perlindungan dan keadilan yang layak. Oleh karena itu, pelaku harus diadili dan dihukum sesuai hukum yang berlaku, tanpa kompromi.
Turut serta atau melindungi pelaku kejahatan seksual terhadap anak merupakan tindak pidana di Indonesia. Pihak yang terlibat dalam tindakan tersebut dapat dijerat dengan hukum berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 35 Tahun 2014).
Berikut ancaman pidana bagi mereka yang turut serta atau melindungi pelaku kejahatan seksual anak, 1. Turut serta dalam kejahatan: Pasal 55 KUHP mengatur bahwa mereka yang membantu, mendorong, atau berperan aktif dalam tindak pidana juga dapat dihukum sama seperti pelaku utama.
Ancaman pidana tergantung pada tindak pidana yang dilakukan, seperti kekerasan seksual terhadap anak yang diancam dengan hukuman maksimal 15 tahun penjara.
2. Melindungi atau menyembunyikan pelaku: Pasal 221 KUHP mengatur bahwa siapa pun yang dengan sengaja menyembunyikan atau melindungi pelaku kejahatan dapat dipidana dengan penjara maksimal 9 bulan. Namun, jika kejahatan yang dilindungi adalah kejahatan serius seperti kekerasan seksual terhadap anak, hukuman bisa lebih berat sesuai dengan undang-undang terkait.
3. Mengabaikan kewajiban melaporkan: Orang yang mengetahui adanya kekerasan seksual terhadap anak namun tidak melaporkannya, terutama jika mereka memiliki kewajiban hukum atau profesional untuk melaporkan (seperti guru atau petugas medis), juga dapat dikenakan sanksi hukum sesuai dengan UU Perlindungan Anak.
Hukuman-hukuman ini dirancang untuk memastikan setiap orang berperan aktif dalam melindungi anak dan menegakkan keadilan,” Pungkas Faris Trihatmoyo.(red)